Rabu, 30 November 2011

TTM








ravenc7aw

Ravenc7Aw itu pas kita di denah
Ravenc7Aw itu pas dimarahin bu shinta dan pa adi
Ravenc7Aw itu pas maska sama kevin disuruh cari tanda kapten, sedangkan dvy dibiarin
Ravenc7Aw itu pas claire nembak adira sama maska buat jadi anak-anakannya
Ravenc7Aw itu pas gue malik dibully sekelas
Ravenc7Aw itu pas rebutan ganti baju duluan sama yang cowo
Ravenc7Aw itu kece
Ravenc7Aw itu gahoel
Ravenc7Aw itu unyuu
Ravenc7Aw itu kelas paling galabil yang ga ganti-ganti nama kelas terus
Ravenc7Aw itu mengharukan saat perpisahan aksel
Ravenc7Aw itu berisik
......................................................

Puisi "aku" karya Chairil anwar

AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943

Karya : Chairil Anwar

dongeng sepatu merah

Karen adalah seorang anak yang amat cantik. Ia tinggal bersama ibunya yang sedang sakit keras. Karena ibunya tak lagi bisa berekja, maka Karenlah yang bekerja. Ia mencuci dan membersihkan rumah para tetangganya.
Akan tetapi uang yang di peroleh sangatlah sedikit. Karen sangat miskin ia tidak mampu membeli sepatu, sehingga ia selalu berjalan dengan bertelangjang kaki.
Di kota tempat Karen tinggal ada sebuah toko sepatu. Ibu pemilik toko sepatu itu selalu iba ketika melihat Karen yang berjalan tanpa alas kaki.
“Kasihat anak itu, aku akan membuatkan sepasan sepatu untuknya” batin ibu itu. Lalu ia membuat kan sepasan sepatu merah untuk Karen.
“Indah sekali, terima kasih bu!” Karen yang tak bisa menahan rasa gembiranya. Lalu ia bergegas pulang karena ingin memperlihatkan sepatu barunya kepada ibunya.
“Sepatu yang sangat cantik…benar-benar bagus…” kata ibunya dengan suara kecil yang terbata-bata. Ssetelah itu ibunya menutup mata perlahan-lahan.
“Ibu, ibu kenapa? Ibu!!!” Karen terus menangis sambil memanggil-manggil ibunya.
Tiba saat hari pemakaman.
“Seharusnya aku memakai sepatu hitam, tapi aku tidak punya uang untuk membelinya. Tak mungkin pula aku bertelangjan kaki pada saat uacara pemakaman.” kata Karen dalam hati.dengat sangat terpaksa ia menggunakan sepatu merahnya.
“Indahnyaa” lirihnya dalam hati penuh rasa bangga. Pergilah Karen ke pemakaman ibunya dengan sepatu merahnya. Orang-orang terkejut melihat Karen berjalan di samping peti jenazah dengan sepatu itu.
“Anak yang aneh, memakai sepatu merah pada saat upacara pemakaman” gumam mereka keheranan.
Karen tahu bahwa itu tak pantas, tapi apa boleh buat hanya itu sepatu yang ia miliki. Ia tak ingin bertelanjang kaki di hari pemakamam ibunya.
Di tengah jalan di seberang makam, lewatlah sebuah kereta kuda yang besar. Tiba-tiba kereta itu berhenti dan turunlah seorang nenek yang kelihatannya kaya. Nenek itu merasa iba melikat Karen sebatang kara.
“Bolehkah saya memelihara anak ini pak pendeta?” pinta nenek itu.
Tentu saja pak pendeta mempebolehkannya.ia justru amat bahagia karena kehidupan Karen tejamin.
Karen mengira berkat sepatu merahnya, namun dugaan Karen salah. Saat melihat sepatu yang dikenakan nenek itu malah berkata “Kau tidak boleh memakai sepatu merah saat pemakaman” Karen menurutinya dan segera membuangnya.
Sejak itu Karen dibesarkan dengan kasih saying. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik, siapapun akan mengakui kecantikannya. Suatu hari nenek mengajak Karen ke toko sepatu untuk membeli sepatu hitam. Tapi Karen justru bertarik kepada sepasang sepatu merah.
“Sepatu merah yang indah! Aku pilih ini saja. Nenek pasti tidak tahu. Penglihatannya ‘kan sudah kabur.” Kata Karen
Ternyata benar dugaan Karen. Nenek tidak mengetahui warna sepatu yang dibelinya.
Keesokan harinya, Karen pergi ke gereja dengan sepatu merah. Orang-orang terkejut melihatnya.
            “Ya ampun gadis itu dating ke gereja memakai sepatu merah…”kata orang-orang membicrakannya. Sementara orang lain berdoa dan mendengarkan pendeta Karen hanya berpikir tenteng sepatu merahnya.
            Uparara doa selesai. Saat nenek dan Karen hendak pulang, seseorang memberitahunkan nenek tentang sepatu merah yang digunakan Karen. Nenek amat sangat marah.Setelah itu Karen berjanji kepada nenek untuk tidak memakai sepatu merah ke gereja lagi.
            Namun, pada minggu selanjutnya Karen mengulaginya lagi.
            Di depan gereja berdiri seorangf prajurit yang sudah tua. Ketika meihat Karen menggunakan sepatu merah, didekatinya Karen dengan wajah yang menakutkan. “Sepatu merah melekatlah pada kaki anak itu dan menarilah!” katanya pada sepatu merah.
Karen berpura pura tak mendengar. Lalu ia masuk ke gereja, dicobanya berdoan dengan khusyuk, tapi pikirannya masih tetap kepada sepatu merah. Tak lama kemudian, upacara doa pun berakhir.
Saat Karen hendak naik ke kereta kuda, prajurit yang tua mendekatinya lagi.
“Sepatu merah, menarilah!” teriaknya.
Tiba-tiba saja Karen mulai menari tanpa kendali. Sepatu merah membuatnya berputar-putar tanpa dapat di kendalikan.
“Aa…. Tolooong !!” teriak Karen ketakutan.. Karen berusaha menghentikannya, tetapi sepatu merah tetap menari sesuai kehendaknya sendiri.
Para pejalan kaki berusaha membantu Karen melepas sepatunya. Namun sepatu merah itu menendang-nendang mereka, juga nenek. Karen bertambah bingung. “Buang saja sepatu itu” teriak nenek saking marahnya.
Suatu hari datang undangan pesta dari istana. Saat itu nenek sedsng sakit keras, dan Karen harus merawatnya. Namun, Karen ingin sekali dating ke pesta itu. Nenek yang baik hati, mengizinkan Karen pergi.
“Karen, jangan pakai sepatu merah itu.. bagaimana bagusnya…” pesan nenek.
Akan tetapi Karen tidak mempedulikannya. Ia tetap memakai sepatu merahnya, dan pergi ke istana meninggalkan nenek yang sedang sakit.
Sesampainya di istana, Karen langsung diajak oleh pangeran untuk berdansa dengannya.
“Benar-benar seprti mimpiii…” kata Karen dengan bangga..
Sepatu itu membawa Karen menari tanpa henti lsgi. Dengan kemauannya sendiri sepatu iti berputar ke kanan dan ke kiri dengan semaunya.itu sama sekali bukan tarian yang indah. Pangeran dan tamu lainnya terkejut melihatnya.
Karen berusaha menuruni tangga istana. Sepatu merah it uterus menari tanpa kendali.
“Tolong lepaskan sepatu ini!” teriak Karen. Tak seorang pun dapat menghentihan Karen. Mereka hanya bisa melihat Karen dengan perasaan iba.
Sambil terus menari, ia masuk ke rima yang gelap. Disana ia betemu dengan prajurit yang sama.
“Hey, sepatu merah menari nlah lebih cepat” teriak prajurit itu.
“Aku mohon hentikan” teriak Karen. Namun sepatu merah itu menari lebih cepat dan membawa Karen menari sampai berhari-hari.

Akhirnya sampailah Karen di sebuah makam. Disana sedang ada upacara pemakaman. Ternyata itu adalah upacara pemakaman nenek yang telah merawatnya.
“Nenek maafkan aku, aku telah meninggalkanmu.” Ratap Karen dalam hati.
Malam hari telah tiba, Karen terus menari melewati duri-dri semak yang telah menusuk badannya.
“Sakiit…! Toloong…! Maafkan aku!” teriak Karen. Sepatu merah itu membawa Karen ke sebuah pondok penebang kayu.
“Aku mophon potong kakiku. Jika tidak dia akan terus membuatku menari.” Pinta Karen kepada penebang kayu sambil menangis. Tanpa bisa berbuat penebang kayu itu memotong kaki Karen. Kaki yang terpotong itu masih menari dan masuk ke hutan rimba.
Akhirnya tubuh Karen berhenti bergerak. “Terima kasih, Tuhan. Aku ini hanyalah anak jelek yang mementingkan diri sendiri” sesal Karen dalam hati.
Penebang kayu itu merasa iba melihat Karen, dan ia membuatkan Karen sepasang kaki palsu yang terbuat dari kayu. “Mulai sekarang, jadilah anak yang baik” kata Penebang kayu kepada Karen.
Karen kemudian kembali ke gereja dan bekerja tekun disana. Bila pekerjaannya telah selesai, ia berdoa pada tuhan dengan sungguh-sungguh. Ia selalu mendoakan neneknya dan tak lupa mohon ampun atas segala kesalahanya.
Setiap hari ia berdoa dengan hati yang bersih. “Nenek, aku ingin menjadi anak yang baik,” janjinya didepan makm neneknya.
Pada suatu hari, datanglah seorang bidadari di hadapan Karen. “Karen kau telah menjadi anak yang baik, tuhan telah memaafkanmu,”kata sang bidadari. Kebaikan hati Karen telah sampai ke surga. Di hadapan Karen kuini tampak jalan yang bersinar. Jalan itu menuju surga. Mata Karen berkaca-kaca Karen bahagia. Dengan wajah bersinar ia naik ke surga bersama sang Bidadari.




Selasa, 29 November 2011

Cerpen Anak

SABUN AJAIB
   Di sebuah desa peternakan di Finlandia, ada seorang gadis cantik bernama Karen. Ayah dan ibunya sudah lama meninggal. Gadis yatim piatu itu hidup besama paman Niko, pamannya. Paman Niko mempunyai seorang anak perempuan. Nita namanya
   Karen rajin dan baik hati. Setiap hari, ia bekerja keras mengurusi rumah dan peternakan. Banyak sekali yang harus dikerjakannya: memcuci baju, memasak, memberi makan ternak, memerah susu, dan menjual telur ayam ke kota.
   Lain halnya dengan Nita. Ia seorang gadis manja yang suka bermalas-malas.
   "Karen, cucikan bajuku!" perintah Nita. "Dan jangan lupa, siapkan air hangat! Awas, jangan terlalu panas!"
   Karen memang sering diperlakukan tidak baik oleh Nita. Rupanya gadis pemalas itu sangat iri dengan kecantikan saudara sepupunya.
   
   Hari sudah menjelang senja ketika Karen pulang dari menjual telur ayam di kota.
   "Aduh, aku harus segera pulang," katanya terperanjat. "Bisa-bisa nanti aku dimarahi paman Niko dan Nita lagi."
   Di tengah jalan, Karen melihat seorang nenek terjatuh karena ditabrak oleh orang anak kecil yang sedang berlari. Embernya yang berisi cucian terjatuh. Cuciannya berceceran dimana-mana. Angin yang bertiup kencang menerbangkan pakaian-pakaian itu.
   "Tolong! Tolong! Cucianku!" teriak perempuan tua yang malang itu.
   Karen seegera berlari mengejar pakaian-pakaian yang berterbangan. Lalu ia menyerahkan semua cucian itu kepada nenek itu.

   "Aduh, terima kasih atas pertolonganmu, Nak" kata nenek itu dengan gembira, "Bagaimana aku harus membalas kebaikanmu?"
   "Sudahlah, Nek. Tak usah dipikirkian," kata Karen sambil tersenyum
   " Tapi, aku punya sesuatu untukmu." Perempuan Tua itu memberikan sepotong sabun kepada Karen. "Ini adalah sabun ajaib. Tapi, kau hanya bisa memakainya tiga kali saja."